" sekelumit dari ceritaku "
(
Takengon, 24 Desember 2004 )
Aku tersentak dari mimpiku yang kurasakan aneh.
Kutatap sekelilingku, ternyata aku berada di kamarku dan aku masih mengenakan
mukena. Baru aku ingat, aku tertidur setelah selesai melaksanakan shalat ashar,
tertidur dalam zikir yang memang selalu kulakukan setelah selesai shalat wajib. Ku lihat jam dinding kamarku, pukul
17.30 wib, berarti aku tertidur lebih
kurang 30 menit dan aku terbangun oleh mimpi tadi. Tiba-tiba aku merinding,
suasana mencekam yang kulihat dalam mimpiku seolah mempunyai makna tersendiri, tapi aku
benar-benar tidak mengerti. Segera aku beranjak keluar kamar, ya Tuhan……kemana
semua penghuni rumahku, ke empat anakku biasanya nonton televisi jam- jam begini, tapi tidak ada. Suamiku memang tadi siang
sudah bilang kalau pulang agak terlambat karena ada rapat. Aku seperti
ketakutan, oleh mimpi tadi.
Aku berlari ke kamar ibu. Ya Tuhan, begitu nyenyaknya aku
tertidur sampai lama meninggalkan ibuku yang sakit di kamarnya.
“
ibu....,” aku menyapa ibu yang kulihat sedang duduk membaca Yasin kecil,
ditemani Dewi, anak angkatku yang sudah
berumur 17 tahun. Ibuku sudah menderita stroke sejak 8 tahun silam dan
memilih tinggal bersamaku. Meskipun ibuku sudah tidak bisa berjalan dan melakukan
aktifitas lainnya, tapi ibuku tidak
pernah meninggalkan shalat. Ibuku shalat dengan posisi duduk di kursi
roda dan melakukan sujud hanya dengan isyarat.
“
ada apa La? “ ibu menatapku agak heran. Meskipun ibuku tidak bisa melakukan
apapun lagi, tetapi aku tetap merasakan bahwa tempat pengaduanku hanya ibu.
“
La mimpi, bu. Menakutkan,” aku menghampiri ibu dan duduk disampingnya. Kemudian
aku menceritakan mimpiku dengan perlahan. Tangan ibu yang selalu gemetar
mengarah ke kepalaku, mengusapnya. “ mudah-mudahan kita selalu dalam lindungan
Allah,” itu ucapan lirih ibu yang membuatku agak tenang.
“
iya, bu. La mau nelpon bang Yofa dulu ya bu,” aku pamit pada ibu.
Segera
kuambil handphoneku, aku menghubungi suamiku. “ Ada apa, ma?” suara suamiku di
handphone seperti memberikan kenyamanan tersendiri untukku. “ Pa, pulang terus
ya. Mama takut,” itu ucapan yang ungkapkan penuh harap. Kudengar suamiku
tertawa, “ Takut apa sih jam begini, ini papa sudah di depan rumah,” suamiku
menjawab masih disertai tawa. Aku segera menutup hpku dan bergegas ke garasi.
Ya, suamiku sudah sampai rupanya. Seperti tidak sabar aku mengajak suamiku ke
ruang tamu.
“
Ih, mama ini kenapa sih, tidak sabaran amat. Tunggu dulu, anak-anak dimana,”
Tanya suamiku sambil duduk di sofa.
“
Masih main mungkin,” aku menjawab asal. Aku hanya ingin cepat-cepat bercerita
tentang mimpiku.
“
Main di mana?” suamiku masih bertanya. Aku mau menjawab, tapi tiba-tiba
anak-anakku muncul dari pintu garasi sambil tertawa-tawa.
“
Darimana kalian?” aku langsung bertanya.
“
Itu ma, cari belalang di sawah orang, untuk PR adek Reza,”
anakku Agi yang menjawab, sementara tiga anakku yang lain langsung ke
kamar, pasti saling bantu kerjakan PR.
“
Ya sudah. Bimbing adek-adek mandi
ya Agi, mama mau cerita dengan
papa sebentar,” aku langsung duduk di
depan suamiku yang sudah menunggu dari tadi.
“
Mama mimpi aneh pa,” aku sengaja diam sesaat menunggu reaksi suamiku.
Kulihat suamiku senyum.
“
Kapan mama tidur tidak pernah mimpi?” itu yang diucapkan suamiku sambil
tertawa. Aku agak kesal, segera aku pindah kesamping suamiku dan memegang
tangannya. Suamiku menatapku agak heran dan melihat ketakutan dimataku.
“
Ya, ma…..ceritalah, papa tadi hanya bercanda, apa mimpi mama,” suamiku berubah
serius dan menggenggam tanganku.
“
Mama melihat seluruh bumi ini tergenang air, semuanya penuh air, seolah hanya
mama yang ada, melihat semuanya. Dan……cuaca nampak gelap, suram, sangat
mencekam. Mama berada disuatu tempat yang mama tidak tahu dimana. Terus mama
melihat ada kuburan……sudah agak tua tapi anehnya tidak terendam air, padahal
disekelilingnya penuh air,” aku berujar lirih menceritakan mimpiku. Suamiku
agak termangu, tapi masih diam mendengarkan ceritaku.
“
Selanjutnya bagaimana,” suara suamiku ikut lirih dan tangannya masih
menggenggam tanganku.
“
Kuburan pertama, mama lihat ada tulisan “ Muchtar seulange”, kuburan kedua mama
lihat ada tulisan arab indah bertuliskan “ Laailaahaillallaah, Muhammad Rasulullah” dan satu
kuburan lagi bertuliskan “ Reje Linge”, tiga kuburan
itu yang tidak terendam banjir,” aku menutup cerita mimpiku dengan nafas agak terengah. Suamiku terdiam
agak lama, aku juga ikut diam.
“
Papa kenal dengan yang mama lihat
dimimpi mama?” aku berujar lirih.
Kulihat suamiku terdiam, seperti berpikir keras. Aku menatap penuh harap.
Kurasakan detak jantungku semakin cepat. Aku seperti mempunyai firasat bahwa
mimpiku bukanlah hanya sekedar bunga tidur belaka.
“
sudah ya mama, mungkin mama hanya lelah. Kita lupakan saja. Nanti habis shalat
magrib, kita ngaji sama-sama dengan anak-anak. Berdoa bersama mohon dilindungi
oleh Allah SWT,” itu kalimat yang akhirnya kudengar dari suamiku. Meski tidak
puas, aku mengiyakan. Toh akhirnya aku sadar bahwa suamiku bukanlah ahli tafsir
mimpi. Benar seperti suamiku bilang, sebaiknya menyerahkan semuanya hanya pada
Allah semata.
Ditemani suamiku, aku mempersiapkan
makan malam seperti biasa meskipun mimpi tadi masih seperti bermain dibenakku.
Anak-anak kulihat sudah selesai mandi sore dibawah bimbingan Agi, putriku yang
paling besar. Puji syukur kepada Allah SWT, aku dianugerahkan putra putri yang
manis dan menyenangkan, juga mudah dibimbing. Dan belum lama setelah aku
selesai menyiapkan makan malam, azan maghrib terdengar.
“
ayo anak-anak, berwudhuk, kita shalat jamaah dan ngaji yasin bersama ya,”
suamiku mengarahkan anak-anakku. Sempat kulihat mereka saling berebutan ke
kamar mandi. Biasanya dalam urusan rebut merebut, putra ke 4 ku Rahmat selalu
juara. Maklum, dia yang paling kecil, abang dan kakaknya mengalah. Putra ke 2
ku, Rulli memang selalu kalah dalam hal rebut merebut, dan paling tidak suka
menonjolkan diri. Sifat Rulli sama persis dengan sifat suamiku.
“
mama, cepat,” putriku Agi memanggilku. Aku masih berwudhuk ketika Reza putra ke
3 ku melantunkan iqamat. Bergegas aku ke ruang shalat. Suamiku menjadi imam.
Aku sangat khusyuk dalam shalatku, seolah mencari kedamaian dari ketakutan
mimpiku tadi. Dan benar saja, selesai shalat maghrib dan mengaji yasin bersama,
aku seperti sangat lega. Apapun makna mimpiku, aku menyerahkan sepenuhnya
kepada Allah SWT. Sesuai kesepakatanku dengan suamiku, aku tidak menceritakan
tentang mimpiku pada anak-anak.
Malam itu berlalu tenang. Dalam
tahajudku, aku semakin memperoleh ketenangan. Aku ingin bangun esok subuh
dengan keceriaan seperti biasanya dan jalani aktifitasku sebagai guru juga
seperti biasa.
###########-------##########
( Takengon, 26 Desember 2004 )
Hari
Minggu pagi, selesai sarapan dan membersihkan rumah, aku dan anak-anak
juga suamiku sedang berkumpul di kamar ibu. Dewi sedang melipat kain yang sudah
kering. Seperti biasa, ibu sedang duduk di kursi roda dengan yasinnya.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh keras dan terjadi goncangan hebat. “
Laailaahaillallaaaaaahhhhh,” kami semua serentak berteriak. Dengan reflek semua
kami berpelukan, ketakutan, masih di kamar ibu.
“
bawa anak-anak keluar, cepaaaaat,” suara teriakan suamiku. Seperti baru
tersadar, aku segera menggamit tangan
anak-anakku dan membawa mereka keluar
rumah, sementara suamiku dengan Dewi mengangkat ibu dengan kursi rodanya. Beberapa
kali aku dan anak-anakku terjatuh oleh
guncangan yang tidak berhenti. Anak-anakku menangis ketakutan, aku berusaha
meneriakkan zikir ditengah gemetar yang tak tertahankan, kuajak anak-anak juga
ikut berteriak Allahhuuakbar. Kulihat ibuku pasrah tak berdaya, terayun-ayun di
atas kursi roda ketika dilarikan oleh suamiku dan Dewi.
Kami sudah berkumpul di tempat yang
agak lapang, bersama tetangga satu lorong. Aku seperti merasakan bahwa tanah
tempat kami berpijak akan tenggelam. Aku benar-benar pasrah. Hanya lafazh zikir
yang terdengar dari semua kami. Selalu kuingatkan anak-anak untuk terus
berzikir, untuk menghilangkan ketakutan mereka. Dan.....sepuluh menit berlalu,
bumi kembali tenang. Dengan memberanikan diri, aku berlari ke dalam rumah untuk
mengambil air putih untuk ibuku dan anak-anakku. Detak jantung mereka terlalu
kencang akibat takut yang berlebihan. Aku ingat pernah membaca bahwa kondisi
seperti itu dapat diredakan dengan minum air putih secara perlahan.
Belum ada yang berani kembali ke dalam
rumah. Semua kami berpandangan dalam diam. Beberapa orang laki-laki termasuk
suamiku, menggelar tikar di jalan lorong kami.
“
jangan ada yang masuk ke rumah dulu. Kita disini saja, jangan kemana-mana,” sebagai
kepala lorong, suamiku memberikan arahan. Semua menyetujui dan tetap diam di
tempat kami berkumpul, sambil terus berdoa.
Malam itu, kami dan tetangga satu lorong tidur dalam
tenda (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar