Kamis, 30 April 2015



                              " sekelumit dari ceritaku "
                                                                                             
                                                                                                           ( Takengon, 24 Desember 2004 )

Aku  tersentak dari mimpiku yang kurasakan aneh. Kutatap sekelilingku, ternyata aku berada di kamarku dan aku masih mengenakan mukena. Baru aku ingat, aku tertidur setelah selesai melaksanakan shalat ashar, tertidur dalam zikir yang memang selalu kulakukan setelah selesai shalat  wajib. Ku lihat jam dinding kamarku, pukul 17.30 wib, berarti aku tertidur  lebih kurang 30 menit dan aku terbangun oleh mimpi tadi. Tiba-tiba aku merinding, suasana mencekam yang kulihat dalam mimpiku seolah  mempunyai makna tersendiri, tapi aku benar-benar tidak mengerti. Segera aku beranjak keluar kamar, ya Tuhan……kemana semua penghuni rumahku, ke empat anakku biasanya nonton televisi  jam- jam begini, tapi tidak ada. Suamiku memang tadi siang sudah bilang kalau pulang agak terlambat karena ada rapat. Aku seperti ketakutan, oleh mimpi tadi.
Aku berlari ke kamar ibu. Ya Tuhan, begitu nyenyaknya aku tertidur sampai lama meninggalkan ibuku yang sakit di kamarnya.
“ ibu....,” aku menyapa ibu yang kulihat sedang duduk membaca Yasin kecil, ditemani Dewi, anak angkatku yang  sudah berumur 17 tahun. Ibuku sudah menderita stroke sejak 8 tahun silam dan memilih  tinggal bersamaku. Meskipun  ibuku sudah tidak bisa berjalan dan melakukan aktifitas lainnya, tapi ibuku tidak  pernah meninggalkan shalat. Ibuku shalat dengan posisi duduk di kursi roda dan melakukan sujud hanya dengan isyarat.
“ ada apa La? “ ibu menatapku agak heran. Meskipun ibuku tidak bisa melakukan apapun lagi, tetapi aku tetap merasakan bahwa tempat pengaduanku hanya ibu.
“ La mimpi, bu. Menakutkan,” aku menghampiri ibu dan duduk disampingnya. Kemudian aku menceritakan mimpiku dengan perlahan. Tangan ibu yang selalu gemetar mengarah ke kepalaku, mengusapnya. “ mudah-mudahan kita selalu dalam lindungan Allah,” itu ucapan lirih ibu yang membuatku agak tenang.
“ iya, bu. La mau nelpon bang Yofa dulu ya bu,” aku pamit pada ibu.
Segera kuambil handphoneku, aku menghubungi suamiku. “ Ada apa, ma?” suara suamiku di handphone seperti memberikan kenyamanan tersendiri untukku. “ Pa, pulang terus ya. Mama takut,” itu ucapan yang ungkapkan penuh harap. Kudengar suamiku tertawa, “ Takut apa sih jam begini, ini papa sudah di depan rumah,” suamiku menjawab masih disertai tawa. Aku segera menutup hpku dan bergegas ke garasi. Ya, suamiku sudah sampai rupanya. Seperti tidak sabar aku mengajak suamiku ke ruang tamu.
“ Ih, mama ini kenapa sih, tidak sabaran amat. Tunggu dulu, anak-anak dimana,” Tanya suamiku sambil duduk di sofa.
“ Masih main mungkin,” aku menjawab asal. Aku hanya ingin cepat-cepat bercerita tentang mimpiku.
“ Main di mana?” suamiku masih bertanya. Aku mau menjawab, tapi tiba-tiba anak-anakku muncul dari pintu garasi sambil tertawa-tawa.
“ Darimana kalian?” aku langsung bertanya.
“ Itu ma, cari belalang di sawah orang, untuk PR adek  Reza,”  anakku Agi yang menjawab, sementara tiga anakku yang lain langsung ke kamar, pasti saling bantu kerjakan PR.
“ Ya sudah. Bimbing adek-adek mandi  ya  Agi, mama mau cerita dengan papa sebentar,” aku langsung  duduk di depan suamiku yang sudah menunggu dari tadi.
“ Mama mimpi aneh pa,” aku sengaja diam sesaat menunggu reaksi suamiku. Kulihat  suamiku senyum.
“ Kapan mama tidur tidak pernah mimpi?” itu yang diucapkan suamiku sambil tertawa. Aku agak kesal, segera aku pindah kesamping suamiku dan memegang tangannya. Suamiku menatapku agak heran dan melihat ketakutan dimataku.
“ Ya, ma…..ceritalah, papa tadi hanya bercanda, apa mimpi mama,” suamiku berubah serius dan menggenggam  tanganku.
“ Mama melihat seluruh bumi ini tergenang air, semuanya penuh air, seolah hanya mama yang ada, melihat semuanya. Dan……cuaca nampak gelap, suram, sangat mencekam. Mama berada disuatu tempat yang mama tidak tahu dimana. Terus mama melihat ada kuburan……sudah agak tua tapi anehnya tidak terendam air, padahal disekelilingnya penuh air,” aku berujar lirih menceritakan mimpiku. Suamiku agak termangu, tapi masih diam mendengarkan ceritaku.
“ Selanjutnya bagaimana,” suara suamiku ikut lirih dan tangannya masih menggenggam tanganku.
“ Kuburan pertama, mama lihat ada tulisan “ Muchtar seulange”, kuburan kedua mama lihat ada tulisan arab indah bertuliskan “ Laailaahaillallaah, Muhammad Rasulullah” dan satu kuburan lagi bertuliskan “  Reje Linge”, tiga kuburan itu yang tidak terendam banjir,” aku menutup cerita mimpiku  dengan nafas agak terengah. Suamiku terdiam agak lama, aku juga ikut diam.
“ Papa kenal dengan  yang mama lihat dimimpi mama?” aku berujar lirih. Kulihat suamiku terdiam, seperti berpikir keras. Aku menatap penuh harap. Kurasakan detak jantungku semakin cepat. Aku seperti mempunyai firasat bahwa mimpiku bukanlah hanya sekedar bunga tidur belaka.
“ sudah ya mama, mungkin mama hanya lelah. Kita lupakan saja. Nanti habis shalat magrib, kita ngaji sama-sama dengan anak-anak. Berdoa bersama mohon dilindungi oleh Allah SWT,” itu kalimat yang akhirnya kudengar dari suamiku. Meski tidak puas, aku mengiyakan. Toh akhirnya aku sadar bahwa suamiku bukanlah ahli tafsir mimpi. Benar seperti suamiku bilang, sebaiknya menyerahkan semuanya hanya pada Allah semata.
          Ditemani suamiku, aku mempersiapkan makan malam seperti biasa meskipun mimpi tadi masih seperti bermain dibenakku. Anak-anak kulihat sudah selesai mandi sore dibawah bimbingan Agi, putriku yang paling besar. Puji syukur kepada Allah SWT, aku dianugerahkan putra putri yang manis dan menyenangkan, juga mudah dibimbing. Dan belum lama setelah aku selesai menyiapkan makan malam, azan maghrib terdengar.
“ ayo anak-anak, berwudhuk, kita shalat jamaah dan ngaji yasin bersama ya,” suamiku mengarahkan anak-anakku. Sempat kulihat mereka saling berebutan ke kamar mandi. Biasanya dalam urusan rebut merebut, putra ke 4 ku Rahmat selalu juara. Maklum, dia yang paling kecil, abang dan kakaknya mengalah. Putra ke 2 ku, Rulli memang selalu kalah dalam hal rebut merebut, dan paling tidak suka menonjolkan diri. Sifat Rulli sama persis dengan sifat suamiku.
“ mama, cepat,” putriku Agi memanggilku. Aku masih berwudhuk ketika Reza putra ke 3 ku melantunkan iqamat. Bergegas aku ke ruang shalat. Suamiku menjadi imam. Aku sangat khusyuk dalam shalatku, seolah mencari kedamaian dari ketakutan mimpiku tadi. Dan benar saja, selesai shalat maghrib dan mengaji yasin bersama, aku seperti sangat lega. Apapun makna mimpiku, aku menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Sesuai kesepakatanku dengan suamiku, aku tidak menceritakan tentang mimpiku pada anak-anak.
          Malam itu berlalu tenang. Dalam tahajudku, aku semakin memperoleh ketenangan. Aku ingin bangun esok subuh dengan keceriaan seperti biasanya dan jalani aktifitasku sebagai guru juga seperti  biasa.
###########-------##########

                                                          ( Takengon, 26 Desember 2004 )
          Hari  Minggu pagi, selesai sarapan dan membersihkan rumah, aku dan anak-anak juga suamiku sedang berkumpul di kamar ibu. Dewi sedang melipat kain yang sudah kering. Seperti biasa, ibu sedang duduk di kursi roda dengan yasinnya. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh keras dan terjadi goncangan hebat. “ Laailaahaillallaaaaaahhhhh,” kami semua serentak berteriak. Dengan reflek semua kami berpelukan, ketakutan, masih di kamar ibu.
“ bawa anak-anak keluar, cepaaaaat,” suara teriakan suamiku. Seperti baru tersadar, aku segera  menggamit tangan anak-anakku dan  membawa mereka keluar rumah, sementara suamiku dengan Dewi mengangkat ibu dengan kursi rodanya. Beberapa kali aku dan anak-anakku terjatuh  oleh guncangan yang tidak berhenti. Anak-anakku menangis ketakutan, aku berusaha meneriakkan zikir ditengah gemetar yang tak tertahankan, kuajak anak-anak juga ikut berteriak Allahhuuakbar. Kulihat ibuku pasrah tak berdaya, terayun-ayun di atas kursi roda ketika dilarikan oleh suamiku dan Dewi.
          Kami sudah berkumpul di tempat yang agak lapang, bersama tetangga satu lorong. Aku seperti merasakan bahwa tanah tempat kami berpijak akan tenggelam. Aku benar-benar pasrah. Hanya lafazh zikir yang terdengar dari semua kami. Selalu kuingatkan anak-anak untuk terus berzikir, untuk menghilangkan ketakutan mereka. Dan.....sepuluh menit berlalu, bumi kembali tenang. Dengan memberanikan diri, aku berlari ke dalam rumah untuk mengambil air putih untuk ibuku dan anak-anakku. Detak jantung mereka terlalu kencang akibat takut yang berlebihan. Aku ingat pernah membaca bahwa kondisi seperti itu dapat diredakan dengan minum air putih secara perlahan.
          Belum ada yang berani kembali ke dalam rumah. Semua kami berpandangan dalam diam. Beberapa orang laki-laki termasuk suamiku, menggelar tikar di jalan lorong kami.
“ jangan ada yang masuk ke rumah dulu. Kita disini saja, jangan kemana-mana,” sebagai kepala lorong, suamiku memberikan arahan. Semua menyetujui dan tetap diam di tempat kami berkumpul, sambil terus berdoa.
Malam itu, kami dan tetangga satu lorong tidur dalam tenda (bersambung)